Jumat, 28 Oktober 2016

MAKALAH HUKUM KELUARGA ISLAM DI MESIR



MAKALAH  HUKUM KELUARGA ISLAM DI MESIR
dI
s
u
s
u
n
oleh:
ali mukmin
laila syuhada
hefredi ALI KASRAN
DOSEN PEMBIMBING: IBNU RADWAN SIDDIK




AL-AHWAL AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA. T.A. 2016 M/ 1437 H




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
  1. Latar belakang......................................................................................... 1
  2. Rumusan masalah.................................................................................... 1
  3. Tujuan...................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.Sekilas tentang republik arab mesir........................................................... 2
B.Usia pernikahan......................................................................................... 4
C.Pencatatan perkawinan dan perjanjian perkawinan................................... 5
D.Pembatasan usia perkawinan dan perceraian............................................. 6
E.Hak hak perempuan dalam perceraian....................................................... 6
F.Poligami..................................................................................................... 7
G. khulu’....................................................................................................... 9
H.Ketentuan pidana dalam UU perkawinan............................................... 11
BAB III PENUTUP
  1. Kesimpulan  .......................................................................................... 13
  2. Kritik dan Saran.................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA.  






Kata Pengantar
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan Hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah Hukum Keluarga Di Mesir dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan terima kasih kepada Bpk Ibnu Radwan Siddik selaku Dosen mata kuliah ini yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
       Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai hukum keluarga di dunia islam. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan di masa depan. Mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
       Semoga makalah sederhana ini dapat di pahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami mohon kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.
                                                                                         
                                                                                                      Medan, 28 Maret 2016

                                                                                                                               Penyusun








BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang.
       Setelah Turki mengadakan pembaharuan Hukum Keluarga, membuat Republik Arab Mesir terbawa untuk mengadakan hal yang sama. Kalau Negara Turki mengadakan pembaharuan Hukum Keluarga dengan adopsi hukum Code Civil Switzerland, maka Republik Arab Mesir memperbaharuinya dengan melakukan reformasi hukum terhadap hukum-hukum fiqih yang telah berlaku. Mesir adalah negara pertama di Arab dan negara kedua setelah Turki mengadakan pembaharuan hukum keluarga.  Pembaharuan ini sebagai wujud perkembangan zaman dan beranjak dari fiqih konvensional menuju konfigurasi hukum keluarga modern. Terutama penyetaraan dan pengangkatan status wanita dalam perkawinan yang menjadi obyek marjinalisasi. Bukan hanya tentang wanita dalam peerkawinan saja yang dilindungi oleh Undang-undang Dasar Republik Arab Mesir, bahkan lebih luas UU tersebut mengatur kebebasan rakyatnya dalam menganut Agama dan menjalani ajaran Agamanya itu. Diatur pula disana kebebasan beraspirasi dan mempropagandakan aspirasinya tanpa takut terancam hukuman. Proses pembaharuan Undang-undang Keluarga Mesir pun bertahap. Dimulai pada tahun 1920 lahir UU No. 25 tahun 1920 dan UU No. 20 tahun 1929,  yang kemudian kedua UU ini diperbaharui dengan lahirnya UU yang dikenal dengan Hukum Jihan Sadat yaitu UU No. 44 tahun 1979. UU ini kemudian diperbaharui lagi dalam bentuk Personal Law No. 100 tahun 1985. Secara mendalam pemakalah lebih mengarah pada UU yaang berkaitan tentang perdata yaitu perkawinan. Walaupun pada dasarnya UU Republik Rakyat Mesir jelas merujuk pada ketentuan Agama Islam.
Rumusan masalah :   1.Dari mana sumber hukum keluarga di Mesir.
                            2.Apa saja yang diatur dalam UU di Mesir.
Tujuan masalah :       1. Untuk mengetahui sumber hukum keluarga di mesir
                                  2. Untuk mengetahui apa saja yang diatur dalam UU di Mesir
BAB II
                                                             PEMBAHASAN                    
A. Sekilas Tentang Republik Arab Mesir
Nama resmi negara ini adalah Republik Arab Mesir yang memiliki Undang-Undang Dasar pada tanggal 11 September 1971.Sebagai negara yang pernah diduduki oleh Turki, atau menjadi bagian negara itu. Dalam hukum tentu merujuk pada hukum yang berlaku di Turki masa itu, sebelum akhirnya Turki sendiri merubah UUnya. Sedang Mesir sendiri masih menganut hukum yang diwariskan. Menurut pasal 1 UUD itu negara tersebut adalah suatu negara demokrasi, negara sosialis yang didasarkan pada aliansi kekuasaan rakyat yang berpengaruh. Meskipun sebagai negara sosialis, namun dalam pasal 2 UUDnya dengan tegas dinyatakan bahwa Islam adalah agama negara dan Bahasa Arab adalah bahasa resmi negara.[1] Nilai-nilai agama sangat kental menyertai kehidupan bermasyarakat termasuk dalam bidang Hukum Keluarga, maka wajar bila sebagian besar hukum keluarga negara ini bersumber dari Islam – dalam hal ini Fiqih.
Republik Arab Mesir sebagai Negara Islam yang ada Afrika diperkirakan memiliki penduduk sekitar 61 juta jiwa, adalah mayoritas Muslim Suni, jumlah mereka hampir 90 persen. Agama sangat berperan besar di negara tersebut.[2] Mayoritas penduduk Mesir adalah pengikut mazhab Safi’i dan hanya sebagian kecil terdapat golongan Hanafiyah.[3] Ada beberapa minoritas religius, yang terbesar adalah minoritas Kristen pribumi yang merupakan Gereja Kopti. Pada tahun 1990, perkiraan jumlah penduduk Kopti adalah 3 sampai 7 juta orang, sedangkan pengikut Kristen lainnya mencakup sekitar 350.000 pengikut Gereja Ortodok Yunani, 175.000 Katolik Ritus Latin dan Timur Seria dan 200.000 Protestan. Pada tahun ini juga diperkirakan terdapat sekitar 1.000 orang Yahudi yang tinggal di Mesir. Populasi Yahudi ini menggambarkan satu fragmen komunitas yang berjumlah 80.000 orang. Yahudi yang hidup di Mesir sebelum tahun 1948. Besarnya toleransi keagamaan merupakan ciri budaya Mesir tradisional, dan kebebasan beragama dijamin oleh Konstitusi Mesir 1971, meskipun ketegangan antar agama sempat meningkat tajam sejak tahun 1970-an.
B. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang di Mesir
      Pengaruh pembaharuan Hukum Keluarga di Turki pada tahun 1917 terhadap Republik Arab Mesir dimulai pada tahun 1920 dengan lahirnya Undang-Undang Keluarga Mesir, yaitu Law No. 25 tahun 1920 dan Law No. 20 tahun 1929. Kalau sedikit di-tafshil-kan, usaha pembaharuan ini dimulai dnegan mengangkat panitia pada tahun 1915 yang dipimpin oleh Rektor Al-Azhar, Syekh al-Maragi. Namun, dengan meletusnya Perang Dunia I telah menghambat kelangsungan usaha pembaharuan ini, yang kemudian diikuti oleh pengangkatan panitia berikutnya. Adapun hasil dari kepanitiaan tersebut adalah dengan lahirnya;
  1. UU No. 25 tahun 1920 tentang Nafkah dan Perceraian,
  2. UU No. 56 tahun 1923 tentang Umur Perkawinan,
  3. UU No. 25 tahun 1929 tentang Perceraian,
  4. UU No. 77 tahun 1943 tentang Waris, dan
  5. UU No. 71 tahun 1946 tentang Wasiat.
     Dengan demikian maka Mesir adalah negara kedua setelah Turki dan negara pertama di Arab yang mengadakan pembaharuan Hukum Keluarga. Isi pokok dari UU No. 56 tahun 1923 dan UU No. 25 tahun 1920 terfokus kepada bidang perceraian. Kedua UU ini kemudian diperbaharui pada tahun 1979 dengan lahirnya UU yang dikenal dengan Hukum Jihan Sadat No. 44 tahun 1979. UU ini pun diperbaharui lagi dengan bentuk Personal Status (Amandemen) Law No. 100 tahun 1985.[4]
    Meskipun ide-ide Muhammad Abduh, Qasim Amin, Safwat dan pemikir Mesir lainnya tentang teori pembaharuan hukum keluarga di Mesir ditentang habis-habisan, namun pada kenyataannya ide-ide merekalah yang banyak memberikan inspirasi dalam usaha pembaharuan tersebut. Tambahan pula, bahwa Malik Hifni Nasif mengusulkan sepuluh butir pembaharuan hukum yang berhubungan dengan wanita, yang diserahkan kepada Badan Legislatif Mesir tahun 1911. Empat diantaranya adalah pendidikan wanita, poligami, umur nikah, dan masalah kerudung (veil).[5]
     Usaha pembaharuan Hukum Kelurga Mesir juga ditopang oleh tuntutan Gerakan Wanita Mesir. Misalnya tuntutan dari The Egyptian Feminist Umon yang berdiri pada tahun 1923, dipimpin oleh Huda Sya’rawi. Kelompok ini mengajukan 32 butir tuntutan kepada Parlemen dan Pemerintah Mesir. Diantara tuntutan itu adalah: (1) Pendidikan kepada Wanita, (2) Pembaharuan Hukum Keluarga, (3) Batas Minimal Perkawinan, (4) Pembatasan Poligami, (5) Pembatasan Hak Cerai Laki-laki.
      Menurut N. J. D Anderson seperti dikutip oleh Khoiruddin, isi Pembaharuan Hukum Keluarga Mesir lebih radikal dan lebih luas daripada Hukum Keluarga Turki.[6]
                 a. Usia Pernikahan.
Dalam bidang perkawinan di Mesir mempunyai undang-undang mengenai batas minimum usia pernikahan yaitu bagi laki-laki 18 Tahun dan bagi wanita 16 Tahun. Di Mesir, meskipun perkawinan yang dilakukan oleh orang yang belum mencapai batas umur terendah itu sah juga, tetapi tidak boleh didaftarkan.[7]
Di negara Mesir Pemerataan pendidikan, kondisi sosial ekonomi dan bentuk-bentuk pengarahan masyarakat merupakan salah satu faktor dalam mengurangi keinginan untuk melakukan pernikahan dibawah umur, akan tetapi beberapa lingkungan sosial tertentu masih melakukan perkawinan dibawah umur karena pertimbangan-pertimbangan dan kepentingan-kepentingan yang mereka asumsikan. Untuk memenuhi ketentuan-ketentuan guna memenuhi ketentuan-ketentuan guna mendapatkan perlindungan hukum mereka cukup pergi ke dokter untuk memperoleh surat keterangan bahwa anak-anak tersebut telah mencapai usia yang dikehendaki oleh hukum.

b. Pencatatan Perkawinan
Aturan pertama yang memuat pencatatan perkawinan tertuang dalam Undang-Undang Mesir tentang Organisasi dan Prosedur Berperkara di Pengadilan tahun 1897 (Egyptian Code of Organization and Prosedure for Syari’ah Court of 1897). Dalam peraturan ini disebutkan bahwa pemberitahuan suatu perkawinan atau perceraian harus dibuktikan dengan catatan (akta). Hal inilah yang kemudian diperluas dengan peraturan perundang-undangan tahun 1909 – 1910, dan diubah tahun 1913 dimana pada pasal 102 disebutkan bahwa perdebatan sekitar perkawinan dan perceraian yang diadukan salah satu pasangan atau orang ketiga tidak akan ditanggapi kecuali ada bukti yang meyakinkan kebenarannya. Hanya saja menurut UU tahun 1897, pembuktian ini boleh atau cukup dengan oral atau lisan yang diketahui secara umum oleh pihak yang berperkara. Sementara menurut peraturan tahun 1911, pembuktian harus dengann catatan resmi pemerintah (official document) atau tulisan tangan dan tanda tangan dari seorang yang sudah meninggal. Dalam peraturan tahun 1931 lebih dipertegas lagi dengan kata-kata harus ada bukti resmi (akta) dari pemerintah (official certificate).
c. Perjanjian Perkawinan
Perjanjian Perkawinan atau Peminangan di Mesir dilakukan dengan tujuan untuk mengadakan perjanjian saling menguntungkan antara kedua pihak untuk mengadakan pernikahan tanpa ada pembatasan atau pengekangan salah satu pihak untuk membatalkan perjanjian tersebut. Namun demikian jika perjanjian itu batal dan merugikan pihak lain baik secara moral ataupun material, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan perkara ke pengadilan atas kerugian tersebut.[8]  Jadi pertunangan bisa dilakukan dan dibatalkan oleh kedua belah pihak dengan ada kesepakatan keduanya sehingga salah satu atau kedua pihak tidak merasa dirugikan. Perjanjian ini pula tidak mengharuskan kepada salah satu atau kedua pihak untuk melakukan perkawinan meskipun mereka sudah tidak saling mencintai lagi.

d. Pembatasan Usia Perkawinan
Mengenai pembatan usia perkawinan di Mesir, terdapat dalam UU No. 56 tahun 1923 Pasal 1 yang menyatakan bahwa usia minimal perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 18 tahun bagi pria pada saat menikah.[9]
Ada dua hal untuk mengetahui umur seseorang agar sesuai dengan ketentuan UU yaitu: Akte Kelahiran atau berupa surat resmi yang dapat menaksir tanggal kelahiran seseorang, dan sertifikat kesehatan yang memperlihatkan taksiran tanggal atau data kelahiran yang diputuskan oleh Menteri Kesehatan atau Pusat Kesehatan setempat. Jika keduanya atau salah satu pihak calon suami atau istri tidak memenuhi ketentuan umur perkawinan dalam UU tersebut, maka dilarang untuk melakukan pendaftaran perkawinan.
e. Perceraian
UU Mesir No. 25 tahu 1920 mengenal dua reformasi dalam talak atau cerai, yaitu:
  1. Hak pengadilan untuk menjatuhkan talak dengan alasan gagal memberikan nafkah, dan
  2. Talak jatuh karena alasan adanya penyakit yang membahayakan.
      Sementara UU No. 25 tahun 1929 mempunyai reformasi hukum lain, bahwa pengadilan berhak menjatuhkan talak karena: perlakuan yang tidak baik dari suami dan pergi dalam waktu yang lama. Jadi UU tahu 1920 memberdayakan pengadilan dan memperluas difinisi penyakit membahayakan dalam perceraian, sementara UU tahun 1929 memberdayakan pengadilan an sich.
f. Hak-hak Perempuan dalam Perceraian
            UU No. 25 tahun 1929 tentang Perceraian pasal 5, wanita yang dicerai mempunyai hak pembelanjaan dari suami bila talaknya bersifat raj’iah, sedang terhadap ketiga jenis talak dibawah ini, lepas dari tanggungan suami, yakni:
  1. Talak Ketiga
  2. Talak sebelum sempurnanya pernikahan, dan
  3. Talak yang diajukan seorang Istri
      Dengan demikian bahwa Mesir dalam menentukan hak-hak wanita dalam perceraian lebih bersumber dari pendapat-pendapat para imam mazdhab.
g. Cerai Di Depan Pengadilan.
Di Mesir sampai terbitnya Undang-Undang Tahun 1979 tentang beberapa ketentuan hukum keluarga  menghendaki dibatasinya hak talak suami dengan cara mewajibkannya mencatatkan talak pada waktu dijatuhkan dan memberitahukan kepada isterinya. Jika tidak, ia dapat dikenai hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan denda sebanyak-banyaknya dua ratus pound, dan talak hanya menimbulkan akibat hukum sejak dari tanggal diketahuinya oleh isteri. Undang-undang itu juga menetapkan untuk janda yang ditalak setelah dicampuri suatu pemberian mut`ah yang besarnya sama dengan nafkah selama dua tahun.[10] Di Mesir Pengucapan Talak Tiga hanya jatuh satu talak. Semua pengaturan ini dilakukan untuk melindungi hak-hak perempuan.[11]
h. Poligami
Mesir memperbolehkan praktek poligami dengan adanya kesempatan isteri untuk mengajukan gugat cerai karena poligami tersebut sebagaimana diatur dalam UU No. 100 tahun 1985. Dalam materi UU tersebut ditentukan bahwa poligami dapat menjadi alasan perceraian bahwa poligami dapat menjadi alasan perceraian bagi isteri dengan alasan, poligami mengakibatkan kesusahan ekonomi, baik dicantumkan dalam taklik talak maupun tidak. Bila suami berencana poligami harus seizin pihak pengadilan dan pengadilan harus memberitahukan kepada isterinya tentang rencana poligami tersebut. Di Mesir poligami itu sendiri dianggap sebagai menyakiti isteri sehingga memberinya hak untuk meminta pemutusan perkawinan selama ia tidak setuju atau belum lewat waktu satu tahun sejak ia mengetahui kejadian pernikahan suaminya dengan wanita lain. Hal ini berbeda dengan keadaan sebelumnya hak minta pemutusan perkawinan itu diberikan kepada isteri apabila dengan poligami itu terbukti adanya kesakitan yang dialami isteri.[12]
Dalam pasal 11A  UU No. 100 tahun 1985 dinyatakan:
“seorang yang akan menikah harus menjelaskan status perkawinannya pada formulir pencatatan perkawinan. Bagi yang sudah mempunyai isteri harus mencantumkan nama dan alamat isteri-isterinya. Pegawai pencatat harus memberitahukan isterinya tentang rencana perkawinan tersebut. Seorang isteri yang suaminya menikah lagi dengan wanita lain dapat minta cerai atas dasar kemudaratan ekonomi yang diakibatkan oleh poligami, dan mengakibatkan tidak mungkin hidup bersama dengan suaminya secara rukun. Hak cerai dapat berlaku, baik ditetapkan ataupun tidak dalam taklik talak. Jika hakim tidak berhasil mendamaikan, maka perceraianlah yang terjadi. Hak isteri hilang dengan sendirinya kalau ia tidak memintanya dalam selama waktu satu tahun dan dia mengetahui perkawinan dimaksud. Tetapi, hak ini tetap menjadi hak isteri setiap kali suaminya menikah lagi. Seorang isteri yang dinikahi dan tidak mengetahui kalau suaminya telah memiliki isteri, berhak minta cerai segera setelah mengetahuinya.”
Berdasarkan pasal ini maka ada beberapa ketentuan mengenai poligami:
  1. Adanya pemberitahuan kepada isteri oleh pencatat nikah tentang pernikahan suaminya,
  2. Isteri dapat mengajukan gugatan cerai dengan alasan poligami suaminya dalam waktu satu tahun,
  3. Hak cerai gugat isteri gugur setelah satu tahun, dan
  4. Jika sebelumnya isteri tidak mengetahui poligami tersebut maka ia berhak minta cerai setelah mengetahuinya.
      Dengan demikian, untuk melaksanakan poligami lebih longgar daripada di Negara Islam lainnya. Walaupun demikian, hukuman terhadap pelanggaran ketentuan poligami termasuk tindak pidana.
i.   Khulu’
Khulu` adalah pemberian hak meminta cerai kepada istri terlepas dari apakah suaminya mengizinkan atau tidak asalkan ia mengembalikan sebagian atau seluruh hak finansialnya.
Menurut empat mazhab, khulu` dapat diberikan walaupun tidak ada alasan legal bagi perceraian, yaitu bila perempuan tidak ingin meneruskan perkawinan. Tetapi di masa modern, khulu` digunakan ketika isteri disakiti dan dilecehkan serta dipukul suami. Mereka seringkali harus melepaskan hak finansial sebagai ganti keputusan cerai dari pengadilan.Dalam UU mesir dinyatakan bahwa khulu` boleh diberikan kepada seorang isteri hanya setelah hakim berusaha dan gagal merukunkan pasangan tersebut serta dengan intervensi mediator dari pihak suami dan Isteri.[13]

j.   Mahar dan Biaya Pernikahan.
Di Mesir pengantin lelaki harus menyediakan rumah yang mafrusyah (fasilitas isinya lengkap, sejak kasur, bantal hingga sabun mandi). Tradisi lokal di kota Fayoum, sekitar 100 km di timur Kairo, seorang mempelai lelaki harus menyediakan uang 3 ribu Pound Mesir (500 Dolar AS), emas murni senilai 2500 Pound dan juga tentu saja, pendapatan tetap. Jangan lupa, itu belum termasuk rumah tinggal. Sementara, harga sebuah rumah yang mafrusyah di kawasan itu bisa mencapai 80 ribu Pound (13 ribu Dolar AS) Di kota besar semisal Kairo, tentu biaya itu lebih tinggi. Tetapi, dalam persoalan mahar, orang Mesir, konon, tidak macam-macam ; cukup dengan peralatan shalat, atau kitab suci AlQuran. Biaya hidup bulanan seorang isteri Mesir, nampaknya, juga sangat tinggi. akibat mahalnya biaya nikah ini, lelaki Mesir banyak yang lambat nikah.

k.   Perkawinan antara orang mesir dengan WNA
Jika orang mesir menikah dengan WNA maka WNA Harus menyetorkan jaminan 25.000 Pound Mesir (kira-kira Rp500 juta). Selain itu, masih ada syarat lain bagi perkawinan antar negara: perbedaan usia pasangan tidak boleh 25 tahun, serta ada izin dari kedutaan negara asal suami.[14]

l.  Wasiat Wajibah.
Wasiat wajibah mulai pertama diperkenalkan oleh ulama Mesir yang melalui hukum waris tahun 1946 menyatakan bahwa seorang anak yang lebih dahulu meninggal dunia dan meninggalkan anak maka si cucu itu menggantikan ayahnya yang mewarisi kakeknya atau neneknya dengan cara memperoleh wasiat wajibah tidak lebih dari sepertiga harta. Adapun yang menetapkan wasiat wajibah itu ialah pengadilan, karena si mati memenag tidak meninggalkan wasiat sendiri. Ide wasiat wajibah ini diajukan ulama Mesir untuk menegakkan keadilan dan membantu cucu yatim. Di Mesir aturan wasiat wajibah itu berlaku bagi semua cucu, baik dari anak laki-laki maupun perempuan.[15]

m.   Masa kehamilan.
Undang-undang Mesir berpendapat bahwa 9 bulan adalah masa kehamilan yang minimum. Al-Berri di dalam kitabnya ‘al-Ahkam al-Assasia lil Mawarith wa al-Wasiy’,  berkata: “Undang-undang Mesir telah menentukan bahwa 9 bulan adalah masa kehamilan yang minimum, yang mana 270 hari telah ditetapkan untuk mengelakkan perselisihan dalam keputusan mahkamah. Seorang anak yang lahir sebelum dari tarikh ini tidak berhak untuk mewarisi harta bapaknya. Ia juga akan dikira anak haram jika bapaknya tidak mengakuinya sedangkan masa kehamilan maksimum dimesir ditetapkan selama 1 tahun.[16]
n. Kawin Beda Kewarganegaraan
     Hal Kawin Campur terdapat dalam Law No. 68 tahun 1947 yang diamandemen oleh Law No. 103 tahun 1976 yang memindahkan pasal 2, 5, 6, 9 dan 12 kepada peraturan baru. Dalam pasal 5 dikatakan bahwa notaris, sebelum mencatat perkawinan harus memperjelas identitas kedua mempelai. Jika terdapat perkawinan antara wanita Mesir dengan pria non Mesir, maka Dinas Perkawinan harus memastikan hal-hal berikut:
  1. Kehadiran mempelai pria saat akad.
  2. Perbedaan umur antara keduanya tidak lebih dari 25 tahun.
  3. Pihak pria harus menyertakan dua buah setifikat dari negara asal atau kedutaannya. Pertama menyatakan bahwa negara asal tidak melarang pernikahan itu dan kedua menggambarkan identitasnya meliputi Tempat dan Tanggal Lahir, agama, pekerjaan, tempat di negara asal, status perkawinan, jumlah isteri dan anak, sirkulasi keuangan dan sumber penghasilan. Kedua sertifikat itu harus ditandatangani oleh pihak pemerintahan Mesir.
  4. Kedua mempelai harus mempunyai Akta Kelahiran atau surat resmi lain yang menunjukkan tanggal lahir.[17]
      Dalam hal ini maka jelas Hukum Keluarga Mesir menitikberatkan pada legalitas pihak asing memperbolehkan untuk menikahi warganegaranya, tanpa ada persyaratan yang memberatkan.
o. Ketentuan Pidana dalam UU Perkawinan
Ketentuan Pidana dalam Perkawinan menyangkut pada pelanggaran ketentuan poligami, yakni suami yang melanggar pasal 11A  UU No. 100 tahun 1985  dapat diberikan sanksi hukuman penjara atau denda, atau bahkan kedua-duanya sekaligus. Hal ini diatur dalam pasal 23A UU no. 100 tahun 1985, yaitu: seorang yang menceraikan isterinya, bertentangan dengan aturan yang ada dalam pasal 5A undang-undang ini, dapat dihukum dengan hukuman penjara maksimal enam bulan atau denda 200 pound Mesir atau kedua-duanya. Sama juga dengan orang yang membuat pengakuan palsu. Kepada pegawai pencatat yang lalai atau gagal melakukan tugasnya dapat dihukum dengan hukuman penjara maksimal satu bulan dan dengan hukuman denda maksimal 50 pound Mesir. Pegawai yang bersangkutan dapat dinonaktifkan selama maksimal satu tahun.[18]



q. Prinsip Kebebasan
Ketentuan kebebasan telah pula diatur, ditransformassikan  kedalam UUD RAM { Republik Rakyat Mesir }, sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 46 yang berbunyi ; “ The state shall guarantee freedom of  belief and freedom to exercise religion ”.
Rumusan ini hampir sama dengan rumusan UUD RI 1945 dalam pasal 29 ayat 2 yang juga menjamin kebebasan beragama untuk beribadah menurut Agama dan Kepercayaannya itu.[19]
      Sebagai lanjutan dari ketenntuan kebebassan beragama, maka pada pasal 47 UUD RAM mengatur tentang jaminan Negara terhadap kebesan berpendapat, dan mempropagandakan pendapatnya itu. Sehubungan dengan itu maka kebabasan pers, percetakan, publlikasi, dan berbagai cara informasi lainnya dijamin oleh Negara. Ketentuan ini diatur dalam pasal 48 UUD RAM. Mesir pun mengatur kebebasan berkumpul dan berserikat yang diatur dalam pasal 54 dan 55 UUD RAM.









BAB III
KESIMPULAN
      Pembaharuan Hukum Keluarga Mesir dilakukan tahap demi tahap menuju kesempurnaan hukum dengan mengadopsi Hukum Islam yang bersumber dari pemikiran-pemikiran Fuqaha terutama dari Imam Mazdhab Empat. Hal ini dipahami karena mayoritas penduduk adalah umat Islam yang sebagian besar bermazdhab Syafi’i. Legalisasi poligami adalah salah satu bentuk bahwa Hukum Kelurga Mesir bersumber dari Hukum Islam. Hak-hak perempuan lebih dilindungi melalui peraturan-peraturan dalam hal perceraian dan poligami sehingga sewenang-wenangan suami dapat dicegah sedini mungkin. Begitupun dengan pembatasan usia perkawinan yang mendasarkan pada kedewasaan dan kematangan pasangan.
       Yang diatur dalam UU Mesir :
       Usia Pernikahan di Mesir mempunyai undang-undang mengenai batas minimum usia yaitu bagi laki-laki 18 Tahun dan bagi wanita 16 Tahun. Pencatatan Perkawinan tertuang dalam Undang-Undang Mesir tentang Organisasi dan Prosedur Berperkara di Pengadilan tahun 1897 (Egyptian Code of Organization and Prosedure for Syari’ah Court of 1897). Pembatasan Usia Perkawinan diatur dalam UU No. 56 tahun 1923 Pasal 1 yang menyatakan bahwa usia minimal perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 18 tahun bagi pria pada saat menikah.  Perceraian diatur dalam UU Mesir No. 25 tahu 1920.  Hak-hak Perempuan dalam Perceraian diatur dalam UU No. 25 tahun 1929 tentang Perceraian pasal 5, wanita yang dicerai mempunyai hak pembelanjaan dari suami bila talaknya bersifat raj’iah. Poligami diatur dalam UU No. 100 tahun 1985. Khulu’ adalah pemberian hak meminta cerai kepada istri terlepas dari apakah suaminya mengizinkan atau tidak asalkan ia mengembalikan sebagian atau seluruh hak finansialnya. Perkawinan antara orang mesir dengan WNA, Jika orang mesir menikah dengan WNA maka WNA Harus menyetorkan jaminan 25.000 Pound Mesir (kira-kira Rp500 juta).


Saran.
Sebelumnya kami minta maaf kepada para pembaca dimana bila terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah kami ini sekiranya kami di beri kemaafan. Kami sadar yang mana dalam penyusunan makalah kami ini masih jauh dari kata sempurna, karena mungkin keilmuan kami yang masih dangkal dalam hal menyusun makalah ini dan referensi yang kami dapat sangatlah terjangkau. Maka dari situ kami membuka pintu hati selebar-lebarnya dan bersedia untuk diberi kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini kedepannya.


[1] Prof. Dr.H. Muhammad Tahir Azhari, SH. Negara Hukum ( Jakarta: Prenada Mulia) Cet. I, 2003, H.255-6

[2] Jhon L Posite, Ensiklopedia Oxford Dunia Islam, ( Bandung: Mizan) Cet. I, 2001, H. 48


[3] M Atho MudZar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modren, ( Jakarta: Ciputat Pres ), 2002, H.13


[4] Khoiruddin Nasotion, Status Wanita Di Asia Tenggara: Study Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer,(INIS, 2002), H. 94


[5] Khoiruddin Nasotion, Status Wanita Di Asia Tenggara: Study Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer, H.95


[6] Ibid, H.95


[7] Atho’ MudZar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga Islam Modren, ( Jakarta: Ciputat Pres),2003, H.210


[8] Daoud Sudqi El-Alami, The Marriage Contract In Islamic Law In The Syari’a and Personal Status Laws of Egypt and Marocoo ( London: Hartnoll Ltd) 1992, H.16


[9] Ron Shaham, Family and the Court in Modern Egypty : A Study Based on Decision by the Syari’a Courts 1900-1955 ( Leiden Brill, 1977), H.54


[10] www. Google.com /Mesir


[11] Atho’ MudZar dan Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga Islam Modren, ( Jakarta: Ciputat Pres),2003, H.213



[13] Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam, ( Jakarta: Pustaka Alfabet 2004), H.108


[14] www.hukumonline.com/Mesir


[15] Atho’ Mudzar, Membaca Gelombang Ijtihad, ( Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000), H.163


[16] www.google,com/Mesir


[17]  Daoud Sudqi El-Alami, Op,Cit, H.85


[18] Tahir Mahmood, Personal Law In Islam, ( New Delhi: 1987), H.4-6

[19] Prof. Dr.H Muhammad Tahir Azhari,S.H. Negara Hukum, ( Bogor: Kencana, 2001), H.229