MAKALAH HUKUM KELUARGA ISLAM DI MESIR
dI
s
u
s
u
n
oleh:
ali mukmin
laila syuhada
hefredi ALI
KASRAN
DOSEN
PEMBIMBING: IBNU RADWAN SIDDIK
AL-AHWAL AL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS
SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA. T.A. 2016 M/ 1437 H
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar belakang......................................................................................... 1
- Rumusan masalah.................................................................................... 1
- Tujuan...................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.Sekilas
tentang republik arab mesir........................................................... 2
B.Usia
pernikahan......................................................................................... 4
C.Pencatatan
perkawinan dan perjanjian perkawinan................................... 5
D.Pembatasan
usia perkawinan dan perceraian............................................. 6
E.Hak hak
perempuan dalam perceraian....................................................... 6
F.Poligami..................................................................................................... 7
G. khulu’....................................................................................................... 9
H.Ketentuan
pidana dalam UU perkawinan............................................... 11
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan .......................................................................................... 13
- Kritik dan Saran.................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA.
Kata
Pengantar
Puji syukur kami ucapkan kehadirat
Allah Yang Maha Kuasa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan
Hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah Hukum Keluarga Di Mesir dengan
baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan terima kasih kepada Bpk Ibnu
Radwan Siddik selaku Dosen mata kuliah ini yang telah memberikan tugas ini
kepada kami.
Kami
sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai hukum keluarga di dunia islam. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan
di masa depan. Mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga
makalah sederhana ini dapat di pahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya
kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
kami mohon kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.
Medan, 28 Maret 2016
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang.
Setelah Turki
mengadakan pembaharuan Hukum Keluarga, membuat Republik Arab Mesir terbawa
untuk mengadakan hal yang sama. Kalau Negara Turki mengadakan pembaharuan Hukum
Keluarga dengan adopsi hukum Code Civil Switzerland, maka Republik Arab
Mesir memperbaharuinya dengan melakukan reformasi hukum terhadap hukum-hukum
fiqih yang telah berlaku. Mesir adalah negara pertama di Arab dan negara kedua
setelah Turki mengadakan pembaharuan hukum keluarga. Pembaharuan ini
sebagai wujud perkembangan zaman dan beranjak dari fiqih konvensional menuju
konfigurasi hukum keluarga modern. Terutama penyetaraan dan pengangkatan status
wanita dalam perkawinan yang menjadi obyek marjinalisasi. Bukan hanya tentang
wanita dalam peerkawinan saja yang dilindungi oleh Undang-undang Dasar Republik
Arab Mesir, bahkan lebih luas UU tersebut mengatur kebebasan rakyatnya dalam
menganut Agama dan menjalani ajaran Agamanya itu. Diatur pula disana kebebasan
beraspirasi dan mempropagandakan aspirasinya tanpa takut terancam hukuman.
Proses pembaharuan Undang-undang Keluarga Mesir pun bertahap. Dimulai pada
tahun 1920 lahir UU No. 25 tahun 1920 dan UU No. 20 tahun 1929, yang
kemudian kedua UU ini diperbaharui dengan lahirnya UU yang dikenal dengan Hukum
Jihan Sadat yaitu UU No. 44 tahun 1979. UU ini kemudian diperbaharui lagi dalam
bentuk Personal Law No. 100 tahun 1985. Secara mendalam pemakalah lebih mengarah
pada UU yaang berkaitan tentang perdata yaitu perkawinan. Walaupun pada
dasarnya UU Republik Rakyat Mesir jelas merujuk pada ketentuan Agama Islam.
Rumusan masalah : 1.Dari mana sumber hukum
keluarga di Mesir.
2.Apa saja yang diatur dalam UU di Mesir.
Tujuan masalah : 1.
Untuk mengetahui sumber hukum keluarga di mesir
2.
Untuk mengetahui apa saja yang diatur dalam UU di Mesir
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas
Tentang Republik Arab Mesir
Nama resmi
negara ini adalah Republik Arab Mesir yang memiliki Undang-Undang Dasar pada
tanggal 11 September 1971.Sebagai negara yang pernah diduduki oleh Turki, atau
menjadi bagian negara itu. Dalam hukum tentu merujuk pada hukum yang berlaku di
Turki masa itu, sebelum akhirnya Turki sendiri merubah UUnya. Sedang Mesir
sendiri masih menganut hukum yang diwariskan. Menurut pasal 1 UUD itu negara
tersebut adalah suatu negara demokrasi, negara sosialis yang didasarkan pada
aliansi kekuasaan rakyat yang berpengaruh. Meskipun sebagai negara sosialis,
namun dalam pasal 2 UUDnya dengan tegas dinyatakan bahwa Islam adalah agama
negara dan Bahasa Arab adalah bahasa resmi negara.[1]
Nilai-nilai agama sangat kental menyertai kehidupan bermasyarakat termasuk
dalam bidang Hukum Keluarga, maka wajar bila sebagian besar hukum keluarga
negara ini bersumber dari Islam – dalam hal ini Fiqih.
Republik Arab
Mesir sebagai Negara Islam yang ada Afrika diperkirakan memiliki penduduk
sekitar 61 juta jiwa, adalah mayoritas Muslim Suni, jumlah mereka hampir 90
persen. Agama sangat berperan besar di negara tersebut.[2]
Mayoritas penduduk Mesir adalah pengikut mazhab Safi’i dan hanya sebagian kecil
terdapat golongan Hanafiyah.[3]
Ada beberapa minoritas religius, yang terbesar adalah minoritas Kristen pribumi
yang merupakan Gereja Kopti. Pada tahun 1990, perkiraan jumlah penduduk Kopti
adalah 3 sampai 7 juta orang, sedangkan pengikut Kristen lainnya mencakup
sekitar 350.000 pengikut Gereja Ortodok Yunani, 175.000 Katolik Ritus Latin dan
Timur Seria dan 200.000 Protestan. Pada tahun ini juga diperkirakan terdapat
sekitar 1.000 orang Yahudi yang tinggal di Mesir. Populasi Yahudi ini
menggambarkan satu fragmen komunitas yang berjumlah 80.000 orang. Yahudi yang
hidup di Mesir sebelum tahun 1948. Besarnya toleransi keagamaan merupakan ciri
budaya Mesir tradisional, dan kebebasan beragama dijamin oleh Konstitusi Mesir
1971, meskipun ketegangan antar agama sempat meningkat tajam sejak tahun
1970-an.
B. Latar
Belakang Lahirnya Undang-Undang di Mesir
Pengaruh pembaharuan Hukum Keluarga di Turki
pada tahun 1917 terhadap Republik Arab Mesir dimulai pada tahun 1920 dengan
lahirnya Undang-Undang Keluarga Mesir, yaitu Law No. 25 tahun 1920 dan Law No.
20 tahun 1929. Kalau sedikit di-tafshil-kan, usaha pembaharuan ini
dimulai dnegan mengangkat panitia pada tahun 1915 yang dipimpin oleh Rektor
Al-Azhar, Syekh al-Maragi. Namun, dengan meletusnya Perang Dunia I telah
menghambat kelangsungan usaha pembaharuan ini, yang kemudian diikuti oleh
pengangkatan panitia berikutnya. Adapun hasil dari kepanitiaan tersebut adalah
dengan lahirnya;
- UU No. 25 tahun 1920 tentang Nafkah dan Perceraian,
- UU No. 56 tahun 1923 tentang Umur Perkawinan,
- UU No. 25 tahun 1929 tentang Perceraian,
- UU No. 77 tahun 1943 tentang Waris, dan
- UU No. 71 tahun 1946 tentang Wasiat.
Dengan demikian maka Mesir adalah negara kedua
setelah Turki dan negara pertama di Arab yang mengadakan pembaharuan Hukum
Keluarga. Isi pokok dari UU No. 56 tahun 1923 dan UU No. 25 tahun 1920 terfokus
kepada bidang perceraian. Kedua UU ini kemudian diperbaharui pada tahun 1979
dengan lahirnya UU yang dikenal dengan Hukum Jihan Sadat No. 44 tahun 1979. UU
ini pun diperbaharui lagi dengan bentuk Personal Status (Amandemen) Law
No. 100 tahun 1985.[4]
Meskipun ide-ide Muhammad Abduh, Qasim
Amin, Safwat dan pemikir Mesir lainnya tentang teori pembaharuan hukum keluarga
di Mesir ditentang habis-habisan, namun pada kenyataannya ide-ide merekalah
yang banyak memberikan inspirasi dalam usaha pembaharuan tersebut. Tambahan pula,
bahwa Malik Hifni Nasif mengusulkan sepuluh butir pembaharuan hukum yang
berhubungan dengan wanita, yang diserahkan kepada Badan Legislatif Mesir tahun
1911. Empat diantaranya adalah pendidikan wanita, poligami, umur nikah, dan
masalah kerudung (veil).[5]
Usaha pembaharuan Hukum Kelurga Mesir juga
ditopang oleh tuntutan Gerakan Wanita Mesir. Misalnya tuntutan dari The
Egyptian Feminist Umon yang berdiri pada tahun 1923, dipimpin oleh Huda
Sya’rawi. Kelompok ini mengajukan 32 butir tuntutan kepada Parlemen dan
Pemerintah Mesir. Diantara tuntutan itu adalah: (1) Pendidikan kepada Wanita,
(2) Pembaharuan Hukum Keluarga, (3) Batas Minimal Perkawinan, (4) Pembatasan
Poligami, (5) Pembatasan Hak Cerai Laki-laki.
Menurut N. J. D Anderson seperti dikutip oleh
Khoiruddin, isi Pembaharuan Hukum Keluarga Mesir lebih radikal dan lebih luas
daripada Hukum Keluarga Turki.[6]
a. Usia Pernikahan.
Dalam bidang perkawinan di Mesir mempunyai
undang-undang mengenai batas minimum usia pernikahan yaitu bagi laki-laki 18
Tahun dan bagi wanita 16 Tahun. Di Mesir, meskipun perkawinan yang dilakukan
oleh orang yang belum mencapai batas umur terendah itu sah juga, tetapi tidak
boleh didaftarkan.[7]
Di negara Mesir Pemerataan
pendidikan, kondisi sosial ekonomi dan bentuk-bentuk pengarahan masyarakat
merupakan salah satu faktor dalam mengurangi keinginan untuk melakukan
pernikahan dibawah umur, akan tetapi beberapa lingkungan sosial tertentu masih
melakukan perkawinan dibawah umur karena pertimbangan-pertimbangan dan
kepentingan-kepentingan yang mereka asumsikan. Untuk memenuhi
ketentuan-ketentuan guna memenuhi ketentuan-ketentuan guna mendapatkan
perlindungan hukum mereka cukup pergi ke dokter untuk memperoleh surat
keterangan bahwa anak-anak tersebut telah mencapai usia yang dikehendaki oleh
hukum.
b. Pencatatan
Perkawinan
Aturan pertama
yang memuat pencatatan perkawinan tertuang dalam Undang-Undang Mesir tentang
Organisasi dan Prosedur Berperkara di Pengadilan tahun 1897 (Egyptian Code
of Organization and Prosedure for Syari’ah Court of 1897). Dalam peraturan
ini disebutkan bahwa pemberitahuan suatu perkawinan atau perceraian harus
dibuktikan dengan catatan (akta). Hal inilah yang kemudian diperluas dengan
peraturan perundang-undangan tahun 1909 – 1910, dan diubah tahun 1913 dimana
pada pasal 102 disebutkan bahwa perdebatan sekitar perkawinan dan perceraian
yang diadukan salah satu pasangan atau orang ketiga tidak akan ditanggapi
kecuali ada bukti yang meyakinkan kebenarannya. Hanya saja menurut UU tahun
1897, pembuktian ini boleh atau cukup dengan oral atau lisan yang diketahui
secara umum oleh pihak yang berperkara. Sementara menurut peraturan tahun 1911,
pembuktian harus dengann catatan resmi pemerintah (official document)
atau tulisan tangan dan tanda tangan dari seorang yang sudah meninggal. Dalam
peraturan tahun 1931 lebih dipertegas lagi dengan kata-kata harus ada bukti
resmi (akta) dari pemerintah (official certificate).
c. Perjanjian
Perkawinan
Perjanjian Perkawinan atau
Peminangan di Mesir dilakukan dengan tujuan untuk mengadakan perjanjian saling
menguntungkan antara kedua pihak untuk mengadakan pernikahan tanpa ada
pembatasan atau pengekangan salah satu pihak untuk membatalkan perjanjian tersebut.
Namun
demikian jika perjanjian itu batal dan merugikan pihak lain baik secara moral
ataupun material, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan perkara ke
pengadilan atas kerugian tersebut.[8] Jadi pertunangan bisa dilakukan dan dibatalkan oleh kedua belah pihak
dengan ada kesepakatan keduanya sehingga salah satu atau kedua pihak tidak
merasa dirugikan. Perjanjian ini pula tidak mengharuskan kepada
salah satu atau kedua pihak untuk melakukan perkawinan meskipun mereka sudah
tidak saling mencintai lagi.
d. Pembatasan
Usia Perkawinan
Mengenai
pembatan usia perkawinan di Mesir, terdapat dalam UU No. 56 tahun 1923 Pasal 1
yang menyatakan bahwa usia minimal perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan
18 tahun bagi pria pada saat menikah.[9]
Ada dua hal untuk
mengetahui umur seseorang agar sesuai dengan ketentuan UU yaitu: Akte Kelahiran
atau berupa surat resmi yang dapat menaksir tanggal kelahiran seseorang, dan
sertifikat kesehatan yang memperlihatkan taksiran tanggal atau data kelahiran
yang diputuskan oleh Menteri Kesehatan atau Pusat Kesehatan setempat. Jika keduanya
atau salah satu pihak calon suami atau istri tidak memenuhi ketentuan umur
perkawinan dalam UU tersebut, maka dilarang untuk melakukan pendaftaran
perkawinan.
e. Perceraian
UU Mesir No. 25 tahu 1920 mengenal dua
reformasi dalam talak atau cerai, yaitu:
- Hak pengadilan untuk menjatuhkan talak dengan alasan gagal memberikan nafkah, dan
- Talak jatuh karena alasan adanya penyakit yang membahayakan.
Sementara UU No. 25 tahun 1929 mempunyai
reformasi hukum lain, bahwa pengadilan berhak menjatuhkan talak karena:
perlakuan yang tidak baik dari suami dan pergi dalam waktu yang lama. Jadi UU
tahu 1920 memberdayakan pengadilan dan memperluas difinisi penyakit
membahayakan dalam perceraian, sementara UU tahun 1929 memberdayakan pengadilan
an sich.
f. Hak-hak
Perempuan dalam Perceraian
UU
No. 25 tahun 1929 tentang Perceraian pasal 5, wanita yang dicerai mempunyai hak
pembelanjaan dari suami bila talaknya bersifat raj’iah, sedang terhadap ketiga
jenis talak dibawah ini, lepas dari tanggungan suami, yakni:
- Talak Ketiga
- Talak sebelum sempurnanya pernikahan, dan
- Talak yang diajukan seorang Istri
Dengan demikian bahwa Mesir dalam menentukan hak-hak
wanita dalam perceraian lebih bersumber dari pendapat-pendapat para imam
mazdhab.
g. Cerai Di Depan Pengadilan.
Di Mesir sampai terbitnya Undang-Undang Tahun
1979 tentang beberapa ketentuan hukum keluarga menghendaki dibatasinya
hak talak suami dengan cara mewajibkannya mencatatkan talak pada waktu
dijatuhkan dan memberitahukan kepada isterinya. Jika tidak, ia dapat dikenai
hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan denda sebanyak-banyaknya dua
ratus pound, dan talak hanya menimbulkan akibat hukum sejak dari tanggal
diketahuinya oleh isteri. Undang-undang itu juga menetapkan untuk janda yang
ditalak setelah dicampuri suatu pemberian mut`ah yang besarnya sama dengan
nafkah selama dua tahun.[10] Di Mesir Pengucapan Talak Tiga hanya
jatuh satu talak. Semua pengaturan ini dilakukan untuk melindungi hak-hak
perempuan.[11]
h. Poligami
Mesir memperbolehkan praktek poligami dengan
adanya kesempatan isteri untuk mengajukan gugat cerai karena poligami tersebut
sebagaimana diatur dalam UU No. 100 tahun 1985. Dalam materi UU tersebut
ditentukan bahwa poligami dapat menjadi alasan perceraian bahwa poligami dapat
menjadi alasan perceraian bagi isteri dengan alasan, poligami mengakibatkan
kesusahan ekonomi, baik dicantumkan dalam taklik talak maupun tidak. Bila suami
berencana poligami harus seizin pihak pengadilan dan pengadilan harus
memberitahukan kepada isterinya tentang rencana poligami tersebut. Di Mesir poligami itu sendiri dianggap sebagai menyakiti isteri sehingga
memberinya hak untuk meminta pemutusan perkawinan selama ia tidak setuju atau
belum lewat waktu satu tahun sejak ia mengetahui kejadian pernikahan suaminya
dengan wanita lain. Hal ini berbeda dengan keadaan sebelumnya hak
minta pemutusan perkawinan itu diberikan kepada isteri apabila dengan poligami
itu terbukti adanya kesakitan yang dialami isteri.[12]
Dalam pasal 11A UU No. 100 tahun 1985
dinyatakan:
“seorang yang akan menikah harus menjelaskan
status perkawinannya pada formulir pencatatan perkawinan. Bagi yang sudah
mempunyai isteri harus mencantumkan nama dan alamat isteri-isterinya. Pegawai
pencatat harus memberitahukan isterinya tentang rencana perkawinan tersebut.
Seorang isteri yang suaminya menikah lagi dengan wanita lain dapat minta cerai
atas dasar kemudaratan ekonomi yang diakibatkan oleh poligami, dan
mengakibatkan tidak mungkin hidup bersama dengan suaminya secara rukun. Hak
cerai dapat berlaku, baik ditetapkan ataupun tidak dalam taklik talak. Jika
hakim tidak berhasil mendamaikan, maka perceraianlah yang terjadi. Hak isteri
hilang dengan sendirinya kalau ia tidak memintanya dalam selama waktu satu
tahun dan dia mengetahui perkawinan dimaksud. Tetapi, hak ini tetap menjadi hak
isteri setiap kali suaminya menikah lagi. Seorang isteri yang dinikahi dan
tidak mengetahui kalau suaminya telah memiliki isteri, berhak minta cerai
segera setelah mengetahuinya.”
Berdasarkan pasal ini maka ada beberapa ketentuan
mengenai poligami:
- Adanya pemberitahuan kepada isteri oleh pencatat nikah tentang pernikahan suaminya,
- Isteri dapat mengajukan gugatan cerai dengan alasan poligami suaminya dalam waktu satu tahun,
- Hak cerai gugat isteri gugur setelah satu tahun, dan
- Jika sebelumnya isteri tidak mengetahui poligami tersebut maka ia berhak minta cerai setelah mengetahuinya.
Dengan demikian, untuk melaksanakan poligami
lebih longgar daripada di Negara Islam lainnya. Walaupun demikian, hukuman
terhadap pelanggaran ketentuan poligami termasuk tindak pidana.
i. Khulu’
Khulu` adalah pemberian
hak meminta cerai kepada istri terlepas dari apakah suaminya mengizinkan atau
tidak asalkan ia mengembalikan sebagian atau seluruh hak finansialnya.
Menurut empat mazhab, khulu` dapat diberikan
walaupun tidak ada alasan legal bagi perceraian, yaitu bila perempuan tidak
ingin meneruskan perkawinan. Tetapi di masa modern, khulu` digunakan ketika
isteri disakiti dan dilecehkan serta dipukul suami. Mereka seringkali harus melepaskan
hak finansial sebagai ganti keputusan cerai dari pengadilan.Dalam UU mesir
dinyatakan bahwa khulu` boleh diberikan kepada seorang isteri hanya setelah
hakim berusaha dan gagal merukunkan pasangan tersebut serta dengan intervensi
mediator dari pihak suami dan Isteri.[13]
j. Mahar dan Biaya Pernikahan.
Di Mesir pengantin lelaki harus menyediakan
rumah yang mafrusyah (fasilitas isinya lengkap, sejak kasur, bantal hingga
sabun mandi). Tradisi lokal di kota Fayoum, sekitar 100 km di timur Kairo,
seorang mempelai lelaki harus menyediakan uang 3 ribu Pound Mesir (500 Dolar
AS), emas murni senilai 2500 Pound dan juga tentu saja, pendapatan tetap.
Jangan lupa, itu belum termasuk rumah tinggal. Sementara, harga sebuah rumah
yang mafrusyah di kawasan itu bisa mencapai 80 ribu Pound (13 ribu Dolar AS) Di
kota besar semisal Kairo, tentu biaya itu lebih tinggi. Tetapi, dalam persoalan
mahar, orang Mesir, konon, tidak macam-macam ; cukup dengan peralatan shalat,
atau kitab suci AlQuran. Biaya hidup bulanan seorang isteri Mesir, nampaknya,
juga sangat tinggi. akibat mahalnya biaya nikah ini, lelaki Mesir banyak yang
lambat nikah.
k. Perkawinan antara orang mesir dengan WNA
Jika orang mesir menikah dengan WNA maka WNA
Harus menyetorkan jaminan 25.000 Pound Mesir (kira-kira Rp500 juta). Selain
itu, masih ada syarat lain bagi perkawinan antar negara: perbedaan usia
pasangan tidak boleh 25 tahun, serta ada izin dari kedutaan negara asal suami.[14]
l. Wasiat Wajibah.
Wasiat wajibah mulai
pertama diperkenalkan oleh ulama Mesir yang melalui hukum waris tahun 1946
menyatakan bahwa seorang anak yang lebih dahulu meninggal dunia dan
meninggalkan anak maka si cucu itu menggantikan ayahnya yang mewarisi kakeknya
atau neneknya dengan cara memperoleh wasiat wajibah tidak lebih dari sepertiga
harta. Adapun yang menetapkan wasiat wajibah itu ialah
pengadilan, karena si mati memenag tidak meninggalkan wasiat sendiri. Ide
wasiat wajibah ini diajukan ulama Mesir untuk menegakkan keadilan dan membantu
cucu yatim. Di Mesir aturan wasiat wajibah itu berlaku bagi semua cucu, baik
dari anak laki-laki maupun perempuan.[15]
m. Masa kehamilan.
Undang-undang Mesir berpendapat bahwa 9 bulan
adalah masa kehamilan yang minimum. Al-Berri di dalam kitabnya ‘al-Ahkam
al-Assasia lil Mawarith wa al-Wasiy’, berkata: “Undang-undang Mesir telah
menentukan bahwa 9 bulan adalah masa kehamilan yang minimum, yang mana 270 hari
telah ditetapkan untuk mengelakkan perselisihan dalam keputusan mahkamah. Seorang
anak yang lahir sebelum dari tarikh ini tidak berhak untuk mewarisi harta
bapaknya. Ia juga akan dikira anak haram jika bapaknya tidak mengakuinya
sedangkan masa kehamilan maksimum dimesir ditetapkan selama 1 tahun.[16]
n. Kawin Beda
Kewarganegaraan
Hal Kawin Campur terdapat dalam Law No. 68
tahun 1947 yang diamandemen oleh Law No. 103 tahun 1976 yang memindahkan pasal
2, 5, 6, 9 dan 12 kepada peraturan baru. Dalam pasal 5 dikatakan bahwa notaris,
sebelum mencatat perkawinan harus memperjelas identitas kedua mempelai. Jika
terdapat perkawinan antara wanita Mesir dengan pria non Mesir, maka Dinas
Perkawinan harus memastikan hal-hal berikut:
- Kehadiran mempelai pria saat akad.
- Perbedaan umur antara keduanya tidak lebih dari 25 tahun.
- Pihak pria harus menyertakan dua buah setifikat dari negara asal atau kedutaannya. Pertama menyatakan bahwa negara asal tidak melarang pernikahan itu dan kedua menggambarkan identitasnya meliputi Tempat dan Tanggal Lahir, agama, pekerjaan, tempat di negara asal, status perkawinan, jumlah isteri dan anak, sirkulasi keuangan dan sumber penghasilan. Kedua sertifikat itu harus ditandatangani oleh pihak pemerintahan Mesir.
- Kedua mempelai harus mempunyai Akta Kelahiran atau surat resmi lain yang menunjukkan tanggal lahir.[17]
Dalam hal ini maka jelas Hukum Keluarga Mesir
menitikberatkan pada legalitas pihak asing memperbolehkan untuk menikahi
warganegaranya, tanpa ada persyaratan yang memberatkan.
o. Ketentuan
Pidana dalam UU Perkawinan
Ketentuan Pidana dalam
Perkawinan menyangkut pada pelanggaran ketentuan poligami, yakni suami yang
melanggar pasal 11A UU No. 100 tahun 1985 dapat diberikan sanksi
hukuman penjara atau denda, atau bahkan kedua-duanya sekaligus. Hal ini diatur
dalam pasal 23A UU no. 100 tahun 1985, yaitu: seorang yang menceraikan
isterinya, bertentangan dengan aturan yang ada dalam pasal 5A undang-undang
ini, dapat dihukum dengan hukuman penjara maksimal enam bulan atau denda 200
pound Mesir atau kedua-duanya. Sama juga dengan orang yang membuat pengakuan
palsu. Kepada pegawai pencatat yang lalai atau gagal melakukan tugasnya dapat
dihukum dengan hukuman penjara maksimal satu bulan dan dengan hukuman denda
maksimal 50 pound Mesir. Pegawai yang bersangkutan dapat dinonaktifkan selama
maksimal satu tahun.[18]
q. Prinsip
Kebebasan
Ketentuan
kebebasan telah pula diatur, ditransformassikan kedalam UUD RAM {
Republik Rakyat Mesir }, sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 46 yang
berbunyi ; “ The state shall guarantee freedom of belief and freedom to
exercise religion ”.
Rumusan ini
hampir sama dengan rumusan UUD RI 1945 dalam pasal 29 ayat 2 yang juga menjamin
kebebasan beragama untuk beribadah menurut Agama dan Kepercayaannya itu.[19]
Sebagai lanjutan dari ketenntuan kebebassan
beragama, maka pada pasal 47 UUD RAM mengatur tentang jaminan Negara terhadap
kebesan berpendapat, dan mempropagandakan pendapatnya itu. Sehubungan dengan
itu maka kebabasan pers, percetakan, publlikasi, dan berbagai cara informasi
lainnya dijamin oleh Negara. Ketentuan ini diatur dalam pasal 48 UUD RAM. Mesir
pun mengatur kebebasan berkumpul dan berserikat yang diatur dalam pasal 54 dan
55 UUD RAM.
BAB III
KESIMPULAN
Pembaharuan Hukum Keluarga Mesir
dilakukan tahap demi tahap menuju kesempurnaan hukum dengan mengadopsi Hukum
Islam yang bersumber dari pemikiran-pemikiran Fuqaha terutama dari Imam Mazdhab
Empat. Hal ini dipahami karena mayoritas penduduk
adalah umat Islam yang sebagian besar bermazdhab Syafi’i. Legalisasi poligami
adalah salah satu bentuk bahwa Hukum Kelurga Mesir bersumber dari Hukum Islam.
Hak-hak perempuan lebih dilindungi melalui peraturan-peraturan dalam hal
perceraian dan poligami sehingga sewenang-wenangan suami dapat dicegah sedini
mungkin. Begitupun dengan pembatasan usia perkawinan yang mendasarkan pada
kedewasaan dan kematangan pasangan.
Yang diatur dalam UU Mesir :
Usia Pernikahan di Mesir mempunyai
undang-undang mengenai batas minimum usia yaitu bagi laki-laki 18 Tahun dan
bagi wanita 16 Tahun.
Pencatatan Perkawinan tertuang dalam
Undang-Undang Mesir tentang Organisasi dan Prosedur Berperkara di Pengadilan
tahun 1897 (Egyptian Code of Organization and Prosedure for Syari’ah Court
of 1897). Pembatasan Usia Perkawinan
diatur dalam UU No. 56
tahun 1923 Pasal 1 yang menyatakan bahwa usia minimal perkawinan adalah 16
tahun untuk wanita dan 18 tahun bagi pria pada saat menikah. Perceraian
diatur dalam UU Mesir No. 25 tahu
1920. Hak-hak Perempuan dalam
Perceraian
diatur dalam UU No. 25 tahun 1929 tentang Perceraian pasal 5, wanita yang
dicerai mempunyai hak pembelanjaan dari suami bila talaknya bersifat raj’iah. Poligami
diatur dalam UU No. 100 tahun 1985. Khulu’ adalah pemberian hak meminta
cerai kepada istri terlepas dari apakah suaminya mengizinkan atau tidak asalkan
ia mengembalikan sebagian atau seluruh hak finansialnya. Perkawinan antara
orang mesir dengan WNA,
Jika orang mesir menikah dengan WNA maka WNA Harus
menyetorkan jaminan 25.000 Pound Mesir (kira-kira Rp500 juta).
Saran.
Sebelumnya kami minta maaf
kepada para pembaca dimana bila terdapat kesalahan dalam penyusunan makalah
kami ini sekiranya kami di beri kemaafan. Kami sadar yang mana dalam penyusunan
makalah kami ini masih jauh dari kata sempurna, karena mungkin keilmuan kami
yang masih dangkal dalam hal menyusun makalah ini dan referensi yang kami dapat
sangatlah terjangkau. Maka dari situ kami membuka pintu hati selebar-lebarnya
dan bersedia untuk diberi kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
makalah ini kedepannya.
[1] Prof. Dr.H. Muhammad
Tahir Azhari, SH. Negara Hukum ( Jakarta: Prenada Mulia) Cet. I, 2003, H.255-6
[2] Jhon L Posite,
Ensiklopedia Oxford Dunia Islam, ( Bandung: Mizan) Cet. I, 2001, H. 48
[3] M Atho MudZar dan
Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modren, ( Jakarta: Ciputat
Pres ), 2002, H.13
[4] Khoiruddin Nasotion,
Status Wanita Di Asia Tenggara: Study Terhadap Perundang-undangan Perkawinan
Muslim Kontemporer,(INIS, 2002), H. 94
[5] Khoiruddin Nasotion,
Status Wanita Di Asia Tenggara: Study Terhadap Perundang-undangan Perkawinan
Muslim Kontemporer, H.95
[6] Ibid, H.95
[7] Atho’ MudZar dan
Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga Islam Modren, ( Jakarta: Ciputat
Pres),2003, H.210
[8] Daoud Sudqi El-Alami, The
Marriage Contract In Islamic Law In The Syari’a and Personal Status Laws of
Egypt and Marocoo ( London: Hartnoll Ltd) 1992, H.16
[9] Ron Shaham, Family and
the Court in Modern Egypty : A Study Based on Decision by the Syari’a Courts
1900-1955 ( Leiden Brill, 1977), H.54
[10] www. Google.com /Mesir
[11] Atho’ MudZar dan
Khoiruddin Nasution, Hukum Keluarga Islam Modren, ( Jakarta: Ciputat
Pres),2003, H.213
[12] www.google.com/Msir
[13] Taufik Adnan Amal dan
Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam, ( Jakarta: Pustaka Alfabet
2004), H.108
[14] www.hukumonline.com/Mesir
[15] Atho’ Mudzar, Membaca
Gelombang Ijtihad, ( Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2000), H.163
[16] www.google,com/Mesir
[17] Daoud Sudqi El-Alami, Op,Cit, H.85
[18] Tahir Mahmood, Personal
Law In Islam, ( New Delhi: 1987), H.4-6
[19] Prof. Dr.H Muhammad Tahir
Azhari,S.H. Negara Hukum, ( Bogor: Kencana, 2001), H.229